NYONYA Siami harus menelan pil pahit dari sikapnya membongkar borok Ujian Nasioanl (UN). Siami dan Widodo keluarga yang melaporkan kecurangan UN di SDN Gadel II Surabaya, Jawa Timur harus angkat kaki karena diusir oleh para wali siswa.
Siami, oleh warga dianggap sebagai ‘biang kerok’ kisruh yang berpotensi mengancam masa depan pendidikan anak-anak mereka di jenjang selanjutnya.
Masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggal Nyonya Siami memandang dia telah membongkar kejadian yang seharusnya dijaga demi “kebaikan” bersama.
Putusan Siami untuk pindah ke Solo merupakan preseden buruk terhadap para wishtleblower.
Sungguh aneh di negeri ini. Ny. Siami, sosok sederhana yang mengungkap bobrok pendidikan kita dengan mengungkap kasus “menyontek massal” akibat sistem UNAS jmustru diperlakukan bak penjahat dan diusir dari kampung Gadel.
Alhamdulillah, banyak pihak masih punya hati bersih. Sikap orang kampung ini mendapat Ikatan Guru Indonesia, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Timur, dan Ikatan Alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) hingga Menteri Pendidikan Muhammad Nuh, DEA.
Kasus ini harusnya menjadi tamparan keras buat sistem pendidikan nasional. Harusnya ada perubahan mendasar, terutama terkait alat evaluasi pendidikan.
Jika dibiarkan terjadi, maka kelak, kasus kemunkaran akan dianggap sebagai sesuatu yang makruf. Kebaikan akan dianggap sebagai keburukan. Dan kejujuran sama dengan kebohongan. Kebohongan adalah kejujuran. Salah adalah baik. Baik adalah salah. Kebenaran adalah dusta. Dusta adalah kebenaran. Inilah ungkapan yang menggambarkan betapa rusak dan sakitnya sebagian masyarakat kita.
Dari kejadian tersebut, siapa saja yang ingin berlaku jujur dalam ucapan dan tindakan, harus berpikir ulang. Jika tidak, jangan kaget bila Anda di”Siami”kan. Harus terusir, terkucil, dan terpinggirkan dari pergaulan. Masyarakat akan melihat anda sebagai biang kerok kisruh, pemicu konflik, pemecah belah persatuan.
Kejujuran di negeri ini bak jarum dalam tumpukan jerami. Butuh waktu yang cukup lama untuk menemukannya. Tak jarang, berujung pada kegagalan. Sementara, dusta di antara kita menjadi lumrah saja. Padahal jangan ada dusta di antara kita. Karena dusta membawa kesengsaraan yang selanjutnya menjadi jembatan menuju siksa Allah di Hari Kelak.
Terkadang seseorang berbohong karena suatu kepentingan. Namun, disadari atau tidak, pada saat ia melakukan suatu kebohongan, maka kecemasan akan datang menghantuinya. Cemas apabila kebohongannya terbongkar. Cemas apabila orang akan mencelanya sebagai seorang pembohong dan beragam kecemasan lainnya.
Rasululah SAW bersabda, ''Sesungguhnya kejujuran menuntun kepada kebaikan. Kebaikan menuntun kepada jalan menuju surga. Apabila seseorang berlaku jujur dan konsisten dengannya, maka Allah akan mencatatnya sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya kebohongan menuntun kepada keburukan dan keburukan menuntun kepada jalan menuju api neraka. Apabila seseorang berbohong, maka Allah akan mencatatnya sebagai pembohong." (HR Bukhari).
Ats-Tsauri berkata tentang firman Allah SWT dalam surah Az-Zumar ayat 60:
وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ تَرَى الَّذِينَ كَذَبُواْ عَلَى اللَّهِ وُجُوهُهُم مُّسْوَدَّةٌ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْمُتَكَبِّرِينَ
“Dan pada hari kiamat, kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?.”. Menurut Tsauri adalah, “Mereka adalah sosok-sosok yang berkoar-koar mengatakan cinta pada Allah namun mereka bukan termasuk orang jujur dalam pengakuan cintanya tersebut.”
Akankan kita termasuk kelompok di atas yang mengaku di ujung bibir cinta pada Allah namun hati kita tanpa kita duga, menyelisihinya akibat ketidakjujuran? Jujur sangat mahal harganya. Siami beserta Widodo sang suami, dan putranya Alif yang diintimidasi oleh gurunya untuk memberi contekan pada kawan-kawannya saat UN silam menjadi pelajaran penting bagi kita bahwa:
Pertama, kebaikan tidak selalu berbuah sambutan hangat. Sejarah para Nabi dan Rasul telah membuktikan akan ada perlawanan dari orang-orang yang menghendaki langgengnya budaya yang buruk, yang telah berurat akar.
Kedua, kejujuran meski pahit tetaplah lebih baik dari dusta yang melenakan. Jujur, satu kata yang mudah terucap di lisan namun sulit dalam mengenali dan menemukannya. Jujur, ada dalam berbagai kamus bahasa dengan segala derivasinya, namun tingkah laku dan perbuatan kita tidak selalu berbanding lurus.
Kejujuran ala Siami dan keluarganya memberikan penjelasan yang terulang, untuk jujur kita perlu persiapan lahir-batin; untuk jujur, kita perlu keimanan dan keyakinan bahwa Allah bersama orang-orang yang memperjuangkan kejujuran; untuk jujur, kita perlu mencamkan dalam lubuk hati bahwa kejujuran yang pahit lebih baik dari dusta yang manis.
Ketiga, melawan kemunkaran. Bagi sebagian kecil masyarakat –semoga- menyontek itu sudah biasa. Menyontek bukan termasuk perbuatan yang mesti didramatisir. Menyontek itu lumrah-lumrah saja.
Padahal, nyontek-nyontekan sama dengan kemunkaran, mendidik dengan cara yang tidak mendidik. Melawan perilaku menyontek adalah melawan kemungkaran dan menegakkan kejujuran.
Sesuatu yang besar dimulai dari sesuatu yang kecil. Seseorang yang awalnya terpaksa berbohong, namun bila ia melakukannya terus-menerus, maka hal itu akan melekat pada dirinya dan menjadi tabiat hidupnya. Inilah yang harus diwaspadai.
Kepada Siami dan Widodo, jangan menyesal telah menyampaikan kebenaran walaupun buahnya sangat pahit. Marilah kita mencontoh sikap “keberanian” mereka yang berjalan di jalan yang benar, meski sangat sulit, penuh hambatan, dan rintangan.
Sebabai penutup, Rasulullah mengatakan, “Sesungguhnya kejujuran akan mendatangkan ketenangan sedangkan kebohongan akan mendatangkan keraguan.'' (HR Tirmidzi).
Ali Akbar bin Agil. Penulis adalah staf pengajar di Pesantren Darut Tauhid Malang
Red: Cholis Akbar
0 komentar:
Posting Komentar